Senin, 11 Februari 2013

MAKAN NASI BERKAT

Pada umumnya, orang yang menyelenggarakan hajat tahlilan itu menyediakan makanan untuk diberikan kepada orang-orang yang diundang dan dimintai bantuan bacaan tahlil itu dengan niat sebagai sedekah. Dalam rangkaian acara tahlil, pahala sedekah makanan itu biasanya juga dinikatkan untuk arwah yang dituju. Oleh karena itu, acara tahlil yang khusus untuk pengiriman do’a semacam itu sering dinamakan sedekah, perubahan ucapan dari kata shadaqah.
Sedekah makan itu biasanya baru disuguhkan atau dibagikan setelah selesainya doa dalam tahlil, baik untuk dimakan di tempat atau di bawa pulang. Dengan perkataan lain, sedekah itu diberikan setelah “diberkahi” dengan do’a. Makanan yang sudah diberkahi doa tersebut kemudian disebut “berkat”. Berkat berasal dari bahasa Arab “barkatun”- bentuk jamaknya adalah barakat- yang artinya kebaikan yang bertambah-tambah terus.
Penamaan tersebut berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW:

اجتمعوا على طعام واذكروا الله يبارك لكم فيه
“Berkumpullah pada jamuan makan kamu, dan sebutlah asma Allah ketika hendak makan, niscaya Allah memberkati kamu pada makanan itu.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim – Kitab Nadhrah an-Nur, II/16)
قَالَ: أَثِيبُوا أَخَاكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، فَأَيَّ شَيْءٍ نُثِيبُهُ؟ قَالَ: ” ادْعُوا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا أُكِلَ طَعَامُهُ، وَشُرِبَ شَرَابُهُ، ثُمَّ دُعِيَ لَهُ بِالْبَرَكَةِ فَذَلِكَ ثَوَابُهُ مِنْهُمْ 

“Rasulullah bersabda : “balaslah oleh kalian (kebaikan) saudara kalian”, para sahabat berkata : “wahai Rasulullah : “dengan sesuatu apakah untuk membalasnya ?”, Rasulullah menjawab : “berdo’alah kalian untuknya dengan keberkatan, sebab sesungguhnya seseorang ketika makananya dimakan dan minumannya di minum, kemudian dido’akan untuknya dengan keberkahan, maka itu merupakan balasan untuknya dari kalian”. [HR. al-Baihaqi & Abu Daud]
Hadits ini mengisyaratkan agar apabila kita memakan atau minum dari apa yang diberikan oleh orang lain supaya mendo’akan agar Allah memberikan dengan keberkahan. Selain diperintahkan untuk memberikan makanan untuk faqir miskin, juga dianjurkan agar makanan kita dimakan oleh orang yang bertakwa baik dengan jalan diantarkan maupun dengan mengundang mereka makan bersama-sama.
Nabi shallallau ‘alayhi wa sallam bersabda :
    أَطْعِمُوا طَعَامَكُمُ الْأَتْقِيَاءَ، وَأَوْلُوا مَعْرُوفَكُمُ الْمُؤْمِنِينَ
 “berikanlah makananmu kepada orang-orang yang bertakwa, dan berbuat baiklah kepada orang-orang yang beriman”. [HR. Imam Ibnu Abid Dunya - Kitab al-Fath al-Kabir, Juz I/ hal. 192]
Orang-orang yang diundang untuk baca tahlil adalah orang-orang yang bertakwa di lingkungan shohibul hajah sedangkan pelaksanaan tahlil dipimpin oleh orang yang dihormati sebagai pemimpin keagamaan di masyarakat setempat

Kamis, 10 Januari 2013

HARTA DAN ANAK ADALAH UJIAN

Harta dan Anak hanyalah Cobaan dan Perhiasan


Harta dan anak hanyalah cobaan dan perhiasan.
QS. Al Anfaal : 28.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿٢٨﴾
“Wa`lamuu annamaa amwalukum wa aulaadukum fitnattun wa annallaha `indahu ajrun `adhiimun”
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Ingatkah kita pada saat kita masih lajang ? Saat-saat dimana kita lebih banyak dihadapkan pada kesenangan dan kegembiraan ? Hampir setiap saat yang ada di pikiran kita hanyalah bagaimana hati kita bisa selalu senang dan tidak ada rasa susah yang menghampiri kita. Kemana saja arahnya asalkan kita suka, tidak ada orang yang melarang. Hati akan terus senang walaupun tak punya uang. Sepeti lirik lagu Koes plus.
Itulah lajang atau bujangan. Tapi apakah kita akan selamanya bujangan ? Tentu bukan keinginan kita. Ada saatnya kita berpikir untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga. Ketika sampai saat nya mulailah kita berdo`a, mengingat Allah untuk beberapa saat, agar diberikan pasangan yang sesuai dengan seleranya plus ini plus itu. Setelah mendapatkan pasangan yang sesuai, maka hati menjadi gembira. Kegembiraan ini kadang membuat kita lupa pada Allah yang telah kita mintai tolong sebelumnya. Lupa dan terlena. Dzikir kita tertutup oleh keindahan “asmara” yang lagi “on”.
Kemudian sampai datang hari pernikahan kita. Kita Ingat lagi kepada Allah untuk beberapa saat. Meminta dengan memohon agar diberikan segala apa yang kita butuhkan. Dengan melibatkan banyak orang kita memohon pada Allah secara bareng-bareng agar Allah mengabulkan seluruh permintaan kita. Sebagai modal dalam menjalani hidup berumah tangga.
Lalu Allah swt benar-benar mengabulkan do`a-do`a kita. Dengan limpahan rezeki berupa materi, ditambah perasaan yang begitu bahagia. Kita nikmati sepercik karunia dari Allah swt untuk seseorang yang melakukan pernikahan. Untuk sementara kita lupa lagi kepada Allah. Kita terlena dengan limpahan rahmat Allah swt. Sementara untuk beberapa waktu hati kita terbalut nafsu duniawi. Kita hanyut dalam dalam suasana yang disebut “bulan madu” dan nafsu untuk selalu “shopping” segala kebutuhan materi kita.
Saat-saat seperti itu Allah memberikan limpahan rahmatnya kepada kita bukan hanya dengan materi tetapi juga dengan hadiah sebuah “janin” atau calon bayi atau sebuah boneka buat orang dewasa. Yang kemudian kita namakan “anak kandung”. Yang prosesnya sendiri membuat kita benar-benar berada pada puncak kenikmatan dunia.
Sesaat kita ingat lagi kepada Allah dan memohon agar diberikan anak yang shaleh, yang berbakti kepada kedua orang tuanya serta berguna bagi orang lain. Tak lupa pula agar berguna bagi “agama”, berguna bagi “bangsa dan Negara”. Beberapa bulan kemudian lahirlah “hadiah” dari Allah berupa “boneka” yang benar-benar sempurna dan sangat lucu. Yang berbeda dengan boneka-boneka yang di inginkan anak-anak.
Maha suci Allah. Betapa kasihnya Allah kepada makhluk ciptaannya, betapa pemurahnya Allah dengan bersedia memberikan apa saja yang terlintas di pikiran kita dan betapa sayangnya Allah kepada kita sebelum kita sampai pada ajal kita. Kita diberinya nikmat kesehatan dan kekuatan untuk menjalani sebuah kehidupan. Akan tetapi sadarkah kita akan semua ini, mengapa Allah begitu kasih kepada kita ?, mengapa Allah begitu pemurah kepada kita ? dan mengapa Allah juga begitu sayang kepada kita ?
Allah yang Maha Kaya akan memberikan kepada kita apa yang kita minta, sepanjang permintaan kita menyangkut kenikmatan dunia akan diberikan semua. Tidak perduli mereka yang taat kepadanya atau mereka yang mengingkariNya dengan tidak mau mengingatNya sama sekali. Semua kenikmatan dunia diberikannya, kita tinggal mengusahakannya untuk memperoleh semua kenikmatan dunia tersebut. Mengapa ? Sebab dunia ini, disamping berfungsi sebagai tanda-tanda kuasanya Allah swt, juga telah pula diberikan pula untuk kepentingan kita. Tetapi sadarkah kita kalau ada sebuah kepentingan yang lebih besar dari pada semua kenikmatan dunia ini ?
Satu ayat di awal tulisan ini menjelaskan, bahwa sesungguhnya harta dan anak-anak kita adalah cobaan dari Allah yang diberikan kepada kita. Dan disisi Allah ada pahala yang jauh lebih besar. Pahala apakah kiranya itu ? Itulah Surga dengan segala kenikmatan di dalamnya.
Dalam ayat lain Allah juga menegaskan lagi :
QS. At Taghaabun : 15
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿١٥﴾
“Innamaa amwalakum wa aulaadukum fitnatun, wallahu `indahu ajrun `adhiim”
”Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Sampai disini mungkin kita masih bertanya-tanya, dimana sih letak cobaanya anak-anak kita itu ?
Coba kita renungkan kembali. Di awal-awal kita mendapatkan rezeki atau karunia Allah berupa harta dan anak, pernahkah terpikir oleh kita untuk semakin menambah ketaatan kita pada Allah yang telah membeikan semua itu ? Yang terjadi kebanyakan dari kita adalah semakin sibuknya kita dan semakin terkonsentrasikannya pikiran kita pada harta dan anak tersebut. Apalagi pada saat balita. Sedang lucu-lucunya. Ungkapan sayang dan kecintaan kita pada anak tersebut, kadang justru mengabaikan kewajiban-kewajiban syariat. Harta dan anak kecil kita adalah cobaan bagi “keimanan” kita. Cobaan bagi ketaatan kita untuk menjalankan ibadah.
Pada saat anak dewasa akan semakin terasa kebenaran bahwa anak adalah cobaan bagi orang tuanya. Semakin dewasa anak akan semakin memonopoli “kehendak” yang dimilikinya. Kehendak anak yang semakin dewasa ini kadang justru banyak yang berseberangan dengan kehendak orang tua. Semakin lama kadang perbedaan keinginan itu akan semakin menganga. Pada puncaknya anak yang sejak kecil kita sayangi dan kita manjakan itu akan bisa menjadi musuh bagi kita. Bahkan Allah swt lebih menegaskan lagi, bukan hanya anak yang akan menjadi musuh bagi kita. Istri pun juga bisa menjadi musuh bagi kita.
QS. At Taghaabun : 14
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴿١٤﴾
”Yaa ayyuhal ladziina aamanuu `inna min azwaajikum wa `auladikum `aduw walakum fahdzaruuhum, wa`in ta`fuu watashfahuu wa taghfiruu fa`innallaha ghafuurur rahiimun”
”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Lantas dimanakah cobaannya ? Ayat di atas cukup jelas. Allah hendak menguji kesabaran kita dengan menjadikan anak dan istri kita sebagai bagian dari keluarga dekat yang memusuhi kita. Jelas pula bahwa Allah Maha Pengampun. Kita dituntut untuk memaafkan semua kesalahan anak dan istri kita. Tidak marah atas semua perlakuannya. Serta berkenan untuk mengampuni atas semua kesalahan mereka. Yang demikian ini sangat dianjurkan, untuk merefleksikan sifat Pengampun Allah pada diri kita.
Untuk apa Allah memberi cobaan pada kita ?
Maha Suci Allah. Alam semesta dan apa yang terjadi di dalamnya adalah “Permainan Allah”, tetapi Allah tidak menciptakan semuanya dengan main-main. Ada tujuan yang jelas diciptakan dan di tempatkannya manusia dalam kehidupan di dunia. Tidak lain adalah Kehidupan Akhirat ! Dan sudah tentu pula bahwa yang namanya kehidupan sudah pasti ada aksi atau kegiatan. Dan sudah tentu pula apa yang ada di “sana” berpasangan pula. Surga dan neraka. Sebuah pasangan yang sangat akrab di telinga kita. Informasinya, salah satu dari keduanya akan menjadi tempat hidup kita kelak. Dan itu pasti !
Semua tergantung kita, mau memilih yang mana ?
Allah hendak memberi cobaan dan ujian pada manusia dengan semua yang ber”bau” dunia. Diantara cobaan-cobaan itu adalah harta dan anak-anak keturunannya. Banyaknya harta yang bisa membedakan status sosial kita di masyarakat menjadi lebih tinggi dari yang lain, tak lebih hanya sekedar cobaan dari Allah. Seharusnya dengan banyaknya harta manusia lebih mudah masuk ke”ridha”nya Allah. Lebih mudah untuk masuk ke surganya Allah swt. Akan tetapi kebanyakan dari manusia, banyaknya harta justru semakin banyak yang menjauhkan dirinya dari ridhanya Allah.
Disadari atau tidak ini adalah sebuah kecelakaan besar. Karena semua harta yang kita miliki ini hanyalah sekedar “pinjaman” dari Allah swt. yang tidak akan pernah kita membawa harta tersebut ke kehidupan akhirat. Yaitu sebuah kehidupan yang “sebenarnya”. Yang didalamnya ada dua buah tempat untuk kita. Yang pertama adalah surga. Satu tempat yang hanya bisa terbuka “pintunya” dengan selembar tiket atau karcis yang ber-marking ”takwa”. Satu lagi adalah neraka. Yang di dalamnya-lah kebanyakan manusia baru bisa menyadari untuk apa sebenarnya manusia di beri kesempatan hidup di dunia. Dan apa yang sesungguhnya harus dilakukan selama hidup di dunia.
Demikian juga dengan banyaknya anak. Anak bagi kita adalah sebuah impian yang di idam-idamkan dan kemudian menjadi kenyataan. Kelahiran seorang anak bagi kita adalah sebuah kegembiraan yang tak terlukiskan. Dan jika tidak bisa memperolehnya, akan bisa menjadi suatu kesedihan yang berkepanjangan. Itulah nikmat hidup yang sangat besar yang di limpahkan oleh Allah kepada manusia. Tetapi karunia Allah yang sangat besar ini kadang malah menjauhkan dan melalaikan kita dari Allah swt.
Kegembiraan atas kenikmatan keturunan memang sering kali membuat kita lupa pada Allah. Ingatan dan kesyukuran kebanyakan hanya terbatas pada “lisan” dan “selamatan” atau kenduri untuk tetangga sekitar saja. Sering kali pula kita memperlakukan anak kita dengan kemanjaan yang berlebihan. Segala apa yang dimintanya pasti kita akan mengusahakanya. Tetapi kewajiban untuk beribadah justru lebih banyak terabaikan, waktu shalat kadang banyak yang terlewatkan. Hanya karena ingin memanjakan anak dan bersenang-senang belaka.
Padahal kalau kita mengetahui. Kelahiran anak kita, disamping karunia dari Allah adalah juga merupakan juga cobaan bagi kita. Sampai seberapa sebenarnya kesyukuran kita dalam menerima karunia Allah berupa kenikmatan dunia ini.
Dalam ayat lain Allah swt. juga berfirman kalau harta dan anak hanyalah perhiasan dunia.
QS. Al Kahfi : 46
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا﴿٤٦﴾
“`Almaalu wal banuuna ziinatul hayaatiddunya, wal baqiyaatush shaalihaatu khairun `inda rabbika tsawaban wa khairun `amala”
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
QS. Al Qashshas : 60
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا ۚ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُنَ ﴿٦٠﴾
“Wa maa `uutiitum min syai`in famataa`ul hayaatiddunya wa ziinatuha, wa maa `indallahi khairun wa`abqaa, afalaa ta`qiluuna”
”Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Harta dan anak adalah cobaan, hanyalah kenikmatan duniwi, hanyalah perhiasan kehidupan. Hanyalah cobaan dan kenikmatan duniawi yang cuma sesaat saja. Hanyalah sebuah perhiasan. Apa kira-kira pengertian “perhiasan” ini bagi kita ? Marilah kita telaah sedikit. Perhiasan adalah sesuatu yang melekat pada sesuatu yang sudah ada dan nyata atau riel. Yang tujuannya selain memperindah pandangan adalah membuat hati merasa senang dan bangga bagi yang memakainya.
Demikian juga “harta” dan “anak”. Bagi kita manusia keberadaan harta dan anak adalah sebuah pelengkap kehidupan kita. Manfaat yang langsung bisa di rasakan adalah memperindah tampilan kita. Baik dari segi status sosial, yaitu pandangan orang lain kepada kita jika kita hidup serba berkecukupan. Juga kepercayaan diri yang terbangun dari tampilan yang “exellent” atau trendy. Live Style atau gaya hidup yang mewah, yang selalu mengikuti perkembangan tehnologi. Baik yang menyangkut “kain kafan” atau perabot-perabot rumah mewahnya.
Demikian juga anak. Rasanya kurang lengkap hidup ini kalau tanpa anak atau keturunan. Keberadaan anak bagi kehidupan kita juga mempunyai manfaat “memperindah” pandangan orang lain kepada kita. Manfaat lain adalah sama dengan harta yaitu membut kita senang dan bangga. Bahkan kadang, harta dan anak kita malah membuat kita semakin “sombong” karena selalu membangga-banggakannya. Padahal Allah juga sudah mengingatkan bahwa amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisiNya serta lebih baik untuk pengharapan. Daripada sekedar hidup bermewah-mewahan dan berbangga-bangga tentang anak-anak kita.
Sesungguhnyalah bermewah-mewahan dengan banyaknya harta dan berbangga-bangga dengan banyaknya anak kita adalah sesuatu yang sia-sia. Dalam satu ayat Allah menjelaskan dengan begitu tegas.
QS. Al Mujaadilah : 17
لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿١٧﴾
“Lan tughniya `anhum amwaluhum walaa aulaaduhum minallahi syai`an, ulaaika ashhabun naar, hum fiihaa khaliduuna”
” Harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna sedikitpun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya.”
Demikianlah, Allah telah menjanjikan kepada kita semua surga dan kita pasti kelak kita juga akan memperolehnya. Dengan segala ketaatan yang kita berikan kepada Allah swt, dengan menjalankan semua syariat yang di ajarkan oleh Rasulullah saw. semua janji-janji Allah akan kita dapatkan. Tetapi berlimpahnya harta yang tidak dipergunakan untuk mencari kehidupan akhirat dan banyaknya anak yang tidak banyak membawa manfaat akhirat, justru akan menjerumuskan diri kita ke jurang neraka dengan lebih cepat.
QS. Al Qashshas : 61
أَفَمَنْ وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَنْ مَتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِينَ ﴿٦١﴾
” Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi; kemudian dia pada hari kiamat termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?”
Itulah kenapa Rasulullah saw. dan kedua sahabatnya yaitu Sayyid Abu Bakr dan Sayyid Umar bin Khattab begitu takut meninggalkan harta tatkala hampir sampai akhir umurnya. Demikianlah mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita dan bisa merubah pandangan kita tentang harta dan anak yang di informasikan dalam Al Qur`an sebagai Cobaan dan perhiasan serta tidak akan bergunanya kelak di akhirat, apabila kita tidak dapat memanfaatkannya dengan benar.
Sekian.
COPAS dari  http://gusharton.wordpress.com/2010/03/20/harta-dan-anak-hanyalah-cobaan-dan-perhiasan/

Sering kita lihat bahwa seolah-olah kalau nasihat dan ajaran kebaikan kyai hanya mempan untuk orang lain namun tidak untuk keluarganya sendiri. Saya juga sering menemukan para orang alim dan menjadi tokoh masyarakat yang biasanya mampu memecahkan masalah orang lain, namun seringkali “tampak” gagal dalam mendidik putra-putrinya sendiri.
Hikmahnya ternyata adalah seringkali ujian berat untuk SABAR dan IKHLAS bagi orang yang beriman yang diberikan Allah bukan melalui orang lain, namun melalui keluarga sendiri. Seperti kisah Nabi Luth dengan istrinya, Nabi Ya’kub dan putra-putranya, Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya, Nabi Nuh dengan putranya dan Nabi Muhammad dengan paman-pamannya berikut ini.
  • Kisah Nabi Nuh. Nabi Nuh dengan sabar telah berdakwah selama sembilan ratus lima puluh tahun untuk menyembah Allah.  Namun dakwah yang begitu panjang tidak banyak menyadarkan kaumnya. Akhirnya Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat bahtera (kapal) yang sangat besat di puncak bukit, dan memerintahkan kaumnya yang taat dan berbagai jenis hewan untuk naik ke dalam bahtera tersebut. Ketika azab Allah berupa banjir besar menenggelamkan apa saja yang ada di muka bumi, Nabi Nuh melihat putranya yang ingkar kepada ajarannya untuk naik ke atas perahu, namun putranya tersebut menolak untuk diselamatkan dan memilih mencari dataran yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri.

  • Kisah Nabi Luth. Kaum Nabi Luth yang dikenal dengan kaum Sodom dan Gomorah adalah kisah yang sangat populer. Dakwah Nabi Luth pada kaumnya untuk menyembah Allah dan menjauhi kemaksiatan pada akhirnya tidak banyak berhasil sehingga Allah menurunkan laknat dan azab pada kaum homoseksual ini dengan hujan batu. Allah menyelamatkan nabi Luth dan pengikutnya, kecuali istri Nabi Luth sendiri yang ingkar pada ajaran Nabi Luth.

  • Kisah Nabi Ya’kub. Nabi Ya’kub menikahi dua puteri pamannya, Laban, yang bernama Layya (Lea) dan Rahil (Rachel). Dari Layya Nabi Ya’kub memperoleh anak-anak: Rubail (Ruben), Syam’un (Simeon), Lawi (Lewi), Yahudza (Yahuda, dari nama inilah diambil nama Yahudi), Yasakhir, Zabilun dan Dina (satu-satunya perempuan). Dari Rahil Nabi Ya’kub memperoleh dua putera: Yusuf dan Bunyamin. Nabi Ya’kub lebih mengasihi Yusub dan Bunyamin karena Rahil meninggal dunia setelah melahirkan Bunyamin. Masalahnya terletak pada sifat iri dan dengki putra Nabi Ya’kub yang tua-tua dari istri Layya sehingga mereka mencelakai Yusuf dengan membuangnya ke sebuah sumur kering dan berkata  kepada ayahnya kalau Yusuf diterkam bianatang buas dengan membawa bukti baju Yusuf yang diolesi darah kambing, dengan tujuan untuk merebut cinta dan perhatian nabi ya’kub. Nabi Ya’kub sangat sedih atas perbuatan mereka.

  • Kisah Nabi Yusuf. Nabi Yusuf adalah putra Nabi Ya’kub yang menjadi korban dari sifat iri dan dengki saudara-saudara dari ibu yang berbeda. Nabi Yusuf dibuang ke sebuah sumur namun atas ijin Allah, Nabi Yusuf selamat dan menjadi pembesar di kerajaan mesir.

  • Kisah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim yang telah berkeluarga dengan Sarah belum juga dikaruniai keturunan. Atas saran Sarah kemudian Nabi Ibrahim menikahi Hajar yang kemudian memiliki anak bernama Ismail. Sedangkan dengan Sarahpun akhirnya dikarunia putra yang diberi nama Ishaq. Masalahnya timbul ketika Sarah begitu cemburu terhadap Hajar akhirnya mengusir hajar dari rumahnya. Nabi Ibrahimpun membawa Hajar dan Ismail hijrah ke jazirah arab yang tandus dan meninggalkannya di sana. Suatu ketika Nabi Ibrahim ingat dengan nazarnya untuk memberikan apasaja yang Allah inginkan jika beliau dikaruniai putra. Allah menguji Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putra yang dikasihinya sebagai tebusan atas nazar tersebut. Sungguh ujian yang sangat berat, namun Nabi Ibrahim, hajar dan Ismail dapat melaluinya dengan baik.

  • Kisah Nabi Muhammad. Nabi Muhammad merupakan keturunan dari bangsawan suku Qurais. Paman-pamannya adalah tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Paman nabi Muhammad yaitu: Haris, Abu Thalib (Abdu Manaf), Zubair,  Hamzah, Abu Lahab (Abdul Uzza), Ghaidaq, Muqawwam, Dhirar, `Abbas, Qusam, Abdul Ka`bah dan Hajal (Mughirah). Namun hanya Abbas dan Hamzah saja yang beriman dan menjadi pengikut Nabi Muhammad. Justru yang membuat Nabi Muhammad sedih adalah pamannya Abu Thalib (ayah dari Ali bin Abi Tahlib ra) yang telah membesarkan dan melimndungi Nabi Muhammad, sampai akhir  hayatnya tidak beriman kepada Nabi Muhammad.
Anak dan Istri adalah Ujian
Namun jika kita sadari bersama, ujian terberat yang dirasakan oleh orang beriman justru dari keluarga sendiri. Hal ini karena anak dan istri memiliki ikatan emosional yang kuat denga diri kita. Sampai-sampai Allah memperingatkan kita dengan beberapa firmanNya.
  • “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 64:14)

  • “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. ” (QS 8:28)

  • “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS 63:9)
Kedua ayat tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa anak, istri dan harta akan menjadi bagian dari ujian yang diberikan oleh Allah untuk lebih mendekatkan diri pada Allah atau kita semakin jauh dari Allah.
Pada ayat pertama Allah mengajarkan kepada kita untuk mengabil sikap memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka jika kemudian mereka menjadi musuh kita, bukan malah mengutuk anak dan istri kita. Rasanya terlalu berlebihan juga jika Ibu Malin Kundang sampai mengutuk Malin Kundang (baca: Anak atau Orang Tuakah yang Durhaka?) hanya karena tidak diakui sebagai ibu. Seharusnya Ibu Malin Kundang memaafkan dan mendoakan agar putra dan menantunya selamat dan diampuni oleh Allah. Sungguh Allah mengajarkan kita bagaimana menjadi manusia yang memiliki derajat tinggi dengan memiliki sifat pemaaf. Hal ini juga diperkuat oleh ayat ketiga diatas.
Ayat kedua diatas merupakan peringatan bagi kita, bahwa harta dan anak-anak kita juga merupakan ujian dan cobaan. Seringkali orang berbuat korupsi agar anak dan turunannya bisa hidup bahagia dengan menumpuk harta kekayaan. seolah-olah kita ingin menjamin anak dan cucu kita tidak akan sengsara dengan jaminan kekayaan. Maka jangan sampai kita mengorbankan akhirat untuk mengejar dunia.
Ujian bagi Orang yang Beriman
Pepatah inggris menyebutkan “No pain No Gain” yang artinya kurang lebih tidak ada kesenangan tanpa dicapai dengan susah payah. Demikian juga dengan orang beriman, karena Allah tidak akan menggratiskan tiket masuk surga tanpa bayaran pahala. Allah tidak akan menaikkan level game kehidupan kita tanpa terlebih dahulu melewati ujian keimanan kita sesuai dengan firmal Allah.
  • “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS 3:186)

  • “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)

  • “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS2:155)

  • “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS 67:2)

  • “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. ” (QS 2: 214)

  • “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS 29:2-3)

  • “Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat.” (QS 25:20)
Beberapa Hadist Rasulullah Muhammad SAW juga menegaskan tentang ujian kehidupan bagi orang yang beriman
  • ” Seorang hamba memiliki suatu derajat di surga. Ketika dia tidak dapat mencapai - nya dengan amal-amal kebaikkannya maka Allah menguji dan mencobanya agar dia mencapai derajat itu.” (HR. Athabrani)

  • “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dalam rezeki yang diberikan kepada-nya. Kalau dia ridho dengan bagian yang diterimanya maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridho dengan pem berian-Nya maka Allah tidak memberi -nya berkah.  (HR. Ahma)

  • Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasululloh saw. bersabda , “ Ujian akan selalu menyertai hidup orang mu’min , entah pada dirinya , anak-nya maupun hartanya sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan terbebas dari dosa.”  (Turmudzi)

  • “Apabila Allah menyenangi hamba-Nya , maka dia diuji , agar Allah mendengar permohonannya ( kerendahan dirinya ).” (HR.Al Baihaqi)

  • “Apabila Aku menguji hamba-KU dengan membutakan kedua matanya dan dia bersabar maka Aku ganti kedua matanya dengan surga. ” (HR.Ahmad)

  • “Janganlah ada orang yang menginginkan mati karena kesusahan yang diderita - nya , Apabila harus melakukannya , hendaklah dia cukup berkata, : “ Ya Allah , tetap hidupkan aku selama kehidupan itu baik bagiku , & wafatkanlah aku jika kematian baik untukku. ” (HR. Bukhari)

  • “Tiada seorang mukmin ditimpa rasa sakit , kelelahan (kepayahan) diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampaipun duri yang menusuk tubuhnya kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya.” ( HR. Al Bukhari )

  • “Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum – Allah menguji mereka. Barang siapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barang siapa murka maka baginya murka Allah.” (HR. Attirmidzi).
Demikianlah bagi kita yang mengharap derajat dan kedekatan kita ditingkatkan oleh Allah, untuk selalu sabar dan ikhlas atas segala ujian hidup yang Allah berikan kepada kita baik melalui harta benda maupun anak dan istri kita.
Sebagai penutup, marilah kita belajar lebih banyak lagi untuk bisa lulus dari berbagai ujian kehidupan ini, dan semoga saya dan anda semua yang membaca tulisan ini mendapatkan hidayah (pertolongan) Allah SWT untuk melewati semua ujian hidup dan lulus dengan predikat Khusnul Khotimah. Amin….
copas dari http://sejarah.kompasiana.com/2011/03/13/anak-dan-istri-adalah-ujian-347202.html

Senin, 12 November 2012

What is santri?
Pengetahuan selalu berawal dengan pertanyaan. "Mengapa blog ini dinamai 'menamaidirisantri'? Tentu pertanyaan inilah yang pertama dan utama muncul dalam benak dan pikiran para pembaca. Lalu apakah santri itu. Inilah yang pertama-tama dibahas di blog ini. Istilah santri sudah tidak asing lagi di telinga kita yang berada di wilayah bumi bagian Indonesia tentunya sejak pertama kali pondok pesantren didirikan di Indonesia (Pesantren sidogiri). 
Apakah santri hanya sekedar asal pakai sarung dan kopyah, kemudian memaknai kitab kuning dan berkediaman di podok pesantren? 
Ada berbagai versi makna kata santri itu sendiri menurut para bahasawan. Berikut penulis paparkan beberapa pembahasan mengenai makna kata santri yang dikutip dari http://pengertianpengertian.blogspot.com/2012/01/pengertian-santri.html

pengertian santri

Menurut penelitian Johns, istilah kata “santri” berasal dari bahasa tamil yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata “shastri”, yang dalam bahasa India berarti “orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu”. Pendapat ini didukung oleh Karel. A. Steenbrink, yang menyatakan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India.[1]
Ada juga yang berpendapat bahwa kata “santri” berasal dari kata sastri, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya “melek huruf” alias  bisa membaca. Pendapat ketiga mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, dari kata cantrik, yang berarti “seseorang yang selalu mengikuti gurunyaa kemanapun gurunya pergi/menetap.” [2]
Terlepas dari asal usul kata santri, jika ditelusuri secara mendalam, maka kata “santri” mengandung beberapa arti:
Pertama; tiga matahari. Pengertian ini diambil dari kata san dan tri. “san” adalah bahasa inggris yang sudah diIndonesiakan, yang asalnya adalah Sun (matahari). Sedangkan “tri” juga bahasa inggris yang berarti tiga. Sehingga bila disusun, santri mengandung arti “tiga matahari”. Adapun yang dimaksud tiga matahari itu adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Ini menunjukkan bahwa santri adalah orang yang berpegang teguh pada Iman, Islam, Ihsan.
Kedua; arti santri adalah jagalah tiga hal. Pengertian ini mengambil dari kata “San” dan “Tri” juga. “San” adalah bahasa arab yang sudah di-Indonesiakan, yang berasal dari kata Sun (jagalah). Sedangkan “Tri” adalah bahasa Inggris yang berartikan tiga. Jika disusun, mengandung arti “jagalah tiga hal”. Tiga hal tersebut adalah, (1) jagalah ketaatan kepada Allah, (2) Jagalah ketaatan kepada Rasul-Nya dan (3) para pemimpin.
Ketiga: jika ditulis dengan tulisan arab, maka kata “santri” terdiri dari lima huruf, yaitu : س, ن, ت, ر, ي. Artinya ialah:
·         سِيْنَ  (sin) asalnya yaitu سَتْرُ الْعَوْرَةِ  (menutup aurat). Arti ini memberi kepahaman bahwa santri termasuk orang yang selalu menutup aurat sekaligus berpakaian sopan.
·         نُوْن (nun) asalnya  نَهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِadalah (meninggalkan maksiat). Pengertian ini menunjukkan bahwa kata santri adalah orang yang meninggalkan perbuatan maksiat.
·          رَاءْ(ra’) asalnya ialah  تَرْكُ الْمَعَاصِيْ(menjaga diri dari hawa nafsu). Ini berarti para santri adalah orang yang selalu menjaga hawa nafsunya, agar tidak terjerembab dalam kenistaan.
·         )  ياَءْ Ya) asalnya yaitu  يَقِيْنٌ(yakin/mantab). Hal ini memberi pemahaman bahwa santri adalah orang yang selalu yakin dan mantap dengan cita-citanya. Karena para santri umumnya meyakini salah satu kandungan ndham imrithi:
إِذِ الْفَتَي حَسْبَ اِعْتِقَاَ دِهِ رُ فِعْ # وَ كُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْـتَفِعْ
Artinya: “ketinggian derajat pemuda, tergantung pada keyakinannya. Setiap orang yang tidak mempunyai keyakinan, maka ia tidak ada gunannya”.
Sedangkan menurut Dr. KH. M.A Sahal Mhafud, yang menilai kata santri berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata “santaro”, yang berarti “menutup”. Kalimat ini mempunyai bentuk jamak (plural) sanaatir (beberapa santri).
Sementara KH. Abdullah Dimyathy (alm) dari Pandeglang Banten, berpendapat bahwa kata santri mengimplementasikan fungsi manusia, dengan 4 huruf yang dikandungnya : sin = “satrul al aurah” (menutup aurat), Nun = “na’ibul ulama” (wakil dari ulama), Ta’ = “tarkul al ma’ashi” (meningglkan kemaksiatan), Ra’ = “ra’isul ummah” (pemimpin ummah).[3]
Semoga sedikit pembahasan ini dapat menggugah kita (pembaca dan penulis) untuk mengembalikan kejatidiran santri (di hadapan Nya tentunya) yang sesungguhnya..

Rabu, 19 September 2012

HATI BERTAUT HATI


TERMINOLOGI HATI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG ISLAM*

Segala puji bagi Allah Yang Maha Sempurna dalam segala sifat dan perbuatan-Nya, Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya, Yang Maha Bijaksana dalam segala keputusan-Nya.
Selawat dan salam buat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diutus untuk sebagai pembawa rahmat kepada seluruh alam.
Berikutnya terima kasih banyak kami ucapkan kepada panitia seminar, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk sebagai pembicara dalam kesempatan ini. Semoga Allah memberikan taufiq dan ‘inayah kepada kami dalam menyampaikan makalah kami pada kesempatan ini.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini kami kami diberi kepercayaan oleh panitia untuk berbicara tentang: “Terminologi Hati Ditinjau Dari Sudut Pandang Islam”.
Makalah ini kami bagi kepada beberapa pokok bahsan:
  1. Muqaddimah.
  2. Kosep hati menurut Islam.
  3. Makna dan pengertian hati.
  4. Ciri dan sifat hati yang baik.
  5. Bentuk dan jenis penyakit hati.
  6. Tips dan trik mengobati hati yang sakit.
  7. Tindakan proventif dalam menjaga hati.
  8. Konsep Aqidah Terkait  hati:
  9. Penutup dan kesimpulan.


2. Konsep Hati Menurut Islam

Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ [التين/4]
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Namun perlu kita ketahui bahwa kerupawanan seseorang akan membawa kepada kehinaan bila tidak disertai oleh keindahan hati yang dihiasi oleh iman dan amal sholeh.
Sebagaimana lanjutan dari firman Allah di atas:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ [التين/5، 6]
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang sehina-hinanya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.
Dari sini dapat kita pahami bahwa pokok kemulian bukanlah pada rupa, serta tidak pula pada harta dan jabatan. Akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amalan seseorang.
Sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
«إِنَّ اللّه تَعَالَى لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ» رواه مسلم.
“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan harta kalian, dan akan tetapi Ia memandang kepada hati dan amalan kalian”.
Namun penentu baik dan buruknya amalan seseorang amat bergantung kepada hati. Maka hati adalah bagaikan generator bagi seluruh anggota badan. Kedudukan hati di antara anggota badan bagaikan raja di tengah kerajaan. Semua gerak-gerik anggota badan akan bergantung kepada hati sebagaimana gerak-gerik anggota pasukan bergantung kepada raja. Bila raja bersifat baik maka prajuritnya pun akan baik pula, sebaliknya bila raja memiliki prilaku buruk maka bala tentaranya pun akan berprilaku buruk pula.
Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada kita tentang hal tersebut dalam sabdanya:
«أَلا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ» رواه البخاري ومسلم.
“Ketahuilah! Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak. Maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah! ia adalah hati”.
Hati adalah ciptaan Allah yang luar biasa, dimana hati menyimpan berjuta-juta rahasia yang tidak mungkin untuk diketahui manusia kecuali segelitir saja dari rahasia-rahasia tersebut. Ini menunjukkan betapa luasnya ilmu dan kekuasaan Allah. Maka oleh sebab itu menyuruh kita agar merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah pada diri kita.
Sebagaimana Allah perintahkan dalam Al Qur’an:
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ [الذاريات/20، 21]
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Semoga melalui apa yang kita bahas pada kesempatan kali ini dapat sebagai mediator untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah. Disaat kita mencoba mengenal sekelumit dari keluarbiasaan kekuasaan Allah dalam diri kita.

3. Makna Dan Pengertian Hati

Kata-kata hati dalam bahasa arab dinamai dengan beberapa nama, diantaranya: Al Qalbu, Al Fuadu, dan Ash Shadru.
Dinamakan dengan Al Qalbu dengan dua sebab;
Pertama: karena ia menunjukkan pusat (jantung) sesuatu, sebagaimana kota makkah disebut Qalbul Ardhi (pusat bumi) karena letaknya di tengah-tengah bumi. Sebagaimana hati dalam tubuh manusia adalah pusat kembali segala aktifitas tubuh.
Kedua: karena sifatnya berbolak-balik.
Sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
«لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَشَدُّ انْقِلَابًا مِنَ القِدْرِ إِذَا اجْتَمَعَتْ غَلْياً» رواه أحمد (6/4)، وصححه الألباني فِي “الصحيحة” (1772).
“Sungguh hati anak Adam lebih cepat berbolak-balik dari periuk yang sedang sangat mendidih”.
Dan dinamakan Al Fuadu, karena bermacam-macamnya pikiran, keyakinan dan perasaan yang tersimpam dalamnya.
Sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Qur’an:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا [الإسراء/36]
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya“.
Maka hati akan ditanya tentang apa yang ia pikirkan dan apa yang diyakininya.
Dan dinamakan Ash Shadru (dada).
Sebagaimana Allah sebutkan dalam firma-Nya:
{يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ} [غافر/19]
“Dia mengetahui mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”.
Karena tempat hati terletak dalam dada, sebagaimana firman Allah:
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ [الحج/46]
“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.
  • Pebedaan antara hati dan otak.
Otak dalam bahasa arab disebut dengan Ad Dimaahg dan Al Mukh.
Menurut sebagian ahli kesehatan bahwa akal tempatnya di otak, akan tetapi menurut para ulama Islam akal tempatnya di hati. Dianatara para ulama tersebut seperti Al Qurtubi[1], Al baghawi dalam kitab tafsirnya[2], Ibnu Taimiyah dalam kitab majmu’ fatawa[3] dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya[4].
Mereka para ulama tersebut berpegang kepada firman Allah:
{أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِى الارْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ} (الحج : 46)
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memikirkan”.
Dan firman Allah:
{لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا} (الأعراف : 179)
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka pergunakan untuk memikirkan (ayat-ayat Allah)“.
Syeikh Islam ibnu Taimiyah dan murid beliau Ibnul Qoyyim menjelaskan hubungan antara dua unsur yang terpenting diatas, yaitu hubungan anatara hati dan otak.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah: Sumber pikiran dan pandangan berasal dari otak sedangan sumber emosional (Irodah) adalah berasal dari hati.
Berkata Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya “At Tibyaan fi Aqsaamil Qur’an“: Mani bila telah berumur enam hari apabila ia membeku timbul di tengah-tengahnya suatu titik maka itulah tempat jantung. Kemudian muncul satu titik pula diatasnya maka itu adalah otak. Lalu muncul pula satu titik di arah kanannya maka itulah hati (al kabid). Kemudian titik tersebut semakin berkembang”.
  • Perbedaan antara hati dan jantung.
Sering dalam bahasa sehari-hari kita memahami bahwa hati adalah bagian tubuh yang disebut dalam bahasa arabnya Al Kibdah. Pada hal dalam Al Qur’an dan sunnah serta penjelasan para ulama yang disebut hati adalah yang disebut jantung dalam bahasa kita sehari-hari. Maka oleh sebab itu penyakit serangan jantung dalam bahasa Arab disebut saktatul Qalb.
=Bersambung insya Allah=
Artikel www.Dzikra.com

*: Makalah ini pernah disampaikan Disampaikan Dalam Seminar Nasional Tgl: 13 Juni 2010 di Widyloka Universitas Brawijaya Malang.
[1]  Al Jaami’ Liahkaamil Qur’an: 2/36.
[2]  Ma’aalimut Tanziil: 7/152.
[3]  : 9/303.
[4]  Tasir Al Qur’anul ‘Azhiim: 4/508.
copas dari http://dzikra.com/terminologi-hati-dalam-pandangan-islam-bagian-1/